Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade belakangan bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara etos kerja manusia (ataukomunitas) dengan keberhasilannya: bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya. Melalui pengamatan terhadap karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang unggul, para peneliti menyusun daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang penting. Misalnya etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia. etos kerja Bushido ini mencuatkan tujuh prinsip, yakni:
- Gi keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat.
- Yu berani dan bersikap kesatria.
- Jin murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama
- Re bersikap santun, bertindak benar
- Makoto bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh dengan sesungguh-sungguhnya dan tanpa pamrih
- Melyo menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan, serta
- Chugo mengabdi dan loyal.
Begitu pula keunggulan bangsa Jerman, menurut para sosiolog, terkait erat dengan etos kerja Protestan, yang mengedepankan enam prinsip, yakni:
- bertindak rasional,
- berdisiplin tinggi,
- bekerja keras,
- berorientasi pada kekayaan material,
- menabung dan berinvestasi, serta
- hemat, bersahaja dan tidak mengumbar kesenangan.
Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa etos kerja bangsa Indonesia ini. Apakah etos kerja kita menjadi penyebab dari rapuh dan rendahnya kinerja sistem sosial, ekonomik dan kultural, yang lantas berimplikasi pada kualitas kehidupan? Dalam buku “Manusia Indonesia” karya Mochtar Lubis yang diterbitkan sekitar seperempat abad yang lalu, diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah: munafik; tidak bertanggung jawab; feodal; percaya pada takhyul; dan lemah wataknya. Beliau tidak sendirian. Sejumlah pemikir/budayawan lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki ‘budaya loyo,’ ‘budaya instan’, dan banyak lagi. Untuk itu, agar perkembangan etos kerja bangsa Indonesia dapat berkembang, maka tidak ada salahnya bisa meniru ataupun mengikuti prinsip-prinsip yang terapkan oleh etos kerja Bushido dan etos kerja protestan.