Makna berkembang dengan melalui perubahan, perluasan, penyempitan, atau pergeseran. Pergeseran makna terjadi pada kata-kata (frase) bahasa indonesia yang disebut eufemisme (melemahkan makna). Caranya dapat dengan mengganti simbolnya (kata, frase) dengan yang baru dan maknanya bergeser, biasanya terjadi bagi kata-kata yang dianggap memiliki makna yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya. Perhatikanlah contoh berikut:
- Bui, tahanan, atau tutupan ‘tempat orang ditahan atau dipenjara setelah mendapat putusan hakim untuk menjalani hukuman’, sekarang muncul lembaga pemasyarakatan, dan maknanya bergeser ‘selain tempat untuk menahan terpidana menjadi tempat untuk mengubah tingkah laku terpidana agar kelak dapat diterima kembali oleh masyarakat.
- Dipecat, dirasakan terlalu keras, dengan demikian muncul diberhentikan dengan hormat atau dipensiunkan.
- Ditahan, dirasakan menyinggung perasaan orang yang mengalaminya dengan pertimbangan tertentu maka muncul dirumahkan dan maknanya bergeser ditahan di rumah bukan tempat tahanan umum.
- Sogok-menyogok dirasa terlalu mencolok mata, oleh karena itu muncul pungli (pungutan liar), menyalahgunakan wewenang, komersialisasi jabatan, upeti, dan seterusnya.
Pergeseran makna terjadi di dalam bentuk imperatif seperti pada segera laksanakan yang bergeser maknanya menjadi harap dilaksanakan atau mohon dilaksanakan terjadi eufemisme. Modalitas keharusan yang muncul dengan kontruksi harus untuk prinsip eufemisme, misalnya harus datang menjadi mohon hadir, mohon datang. Kata berpidato atau memberi instruksi dirasakan terlalu kasar dan biasanya diganti dengan memberikan pengarahan, memberikan pembinaan, mengadakan seresehan, dan sebagainya.
Pergeseran makna terjadi pada kata-kata atau frase yang bermakna terlalu menyinggung perasaan orang yang mengalaminya, oleh karena itu kita tidak mengatakan orang sudah tua di depan mereka yang sudah tua bila dirasakan menyinggung perasaan, maka muncullah orang lanjut usia. Demikian pula terjadi pergeseran makna pada kata-kata atau frase berikut:
- Tuna netra ‘buta’
- Tuna rungu ‘tuli’
- Tuna wisma ‘gelandangan’
- Tuna susila ‘pelacur’
- Cacat mental ‘orang gila’
- Pramusiwi ‘pelayan (bayi)’
- Pramuwisma ‘pelayan (pembantu)’
- Prmuniaga ‘pelayan toko’
- Menyesuaikan harga ‘menaikkan harga’
- Dipetiaskan ‘masuk kotak’, dan seterusnya.
Pemakai bahasan dalam hal ini selalu memanfaatkan potensinya untuk memakai semua unsur yang terdapat di dalam bahasanya. Pemakai bahasa berusaha agar kawan bicara tidak terganggu secara psikologis, oleh karena itu muncul pergeseran makna. Dikatakan pergeseran makna bukan pembatasan makna, karena dengan penggantian lambang (simbol) makna semula masih berkaitan erat tetapi ada makna tambahan (eufemisme) menghaluskan (pertimbangan akibat psikologis bagi kawan bicara atau orang yang mengalami makna yang diungkapkan kata atau frase yang disebutkan).