Tujuan utama program tanam paksa adalah memperoleh pendapatan yang besar dengan mewajibkan menanam tanaman dagang yang laku dan dibutuhkan di pasaran Eropa, seperti tebu, nila, teh, kopi, tembakau, kayu manis, dan kapas. Ketentuan pokok sistem tanam paksa dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 22 Tahun 1834, antara lain sebagai berikut.
- Para petani yang mempunyai tanah diminta menyediakan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman perdagangan yang sudah ditentukan.
- Pemerintah membebaskan dari pembayaran pajak bagi tanah yang digunakan untuk menanam tanaman wajib tersebut.
- Hasil penanaman tanaman perdagangan harus diserahkan kepada pemerintah dan setiap kelebihan hasil panen dari nilai pajaknya akan dibayarkan kembali sisanya.
- Tenaga dan waktu untuk menggarap tanaman perdagangan tidak boleh melebihi dari tenaga dan waktu dalam menanam padi.
- Kegagalan panen tanaman wajib menjadi tanggung jawab pemerintah.
- Bagi mereka yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahunnya di perkebunan milik Belanda.
- Penggarapan tanah untuk tanaman wajib akan diawasi langsung oleh penguasa pribumi.
Jika dilihat ketentuan pokok sistem tanam paksa sepertinya tidak terlalu menjadi beban bagi rakyat. Akan tetapi, ketentuan tinggal ketentuan karena pelaksanaannya jauh dari ketentuan pokok sistem tanam paksa tersebut. Rakyat menjadi terbebani dan sangat menderita. Praktik tanam paksa di Indonesia adalah sebagai berikut.
- Sawah dan ladang rakyat terbengkalai karena perhatian dipusatkan pada penanaman tanaman wajib.
- Rakyat yang tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi waktu yang ditentukan.
- Luas lahan untuk penanaman tanaman wajib melebihi dari seperlima lahan garapan.
- Lahan yang disediakan untuk penanaman tanaman wajib tetap dikenakan pajak tanah.
- Kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayar tidak dikembalikan.
- Kegagalan panen tanaman wajib tetap menjadi tanggung jawab petani.