Sebelum UU No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan diundangkan, keberadaan yayasan didasarkan pada hukum kebiasaan yang timbul dan berkembang dalam masyarakat. Dalam UU ini dijelaskan tentang :
- Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh suatu masyarakat yang selalu dilakukan oleh orang lain sedemikian rupa, sehingga beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian.
Menurut ahli Syara’ adat istiadat adalah:
اَلْعَادَةُ مَاتَعَارَفَةُ النَّاسُ وَاَصْبَحَ مَأْلُوْفًا لَهُمْ سَ ئِفًا فِى مَجْرَى حَيَا تِهِمْ
Artinya: “Adat (kebiasaan) ialah sesuatu yang telah terkenal di seluruh masyarakat atau sama dikenal oleh manusia dan telah menjadi suatu kebiasaan yang digemari oleh mereka lagi berlaku di dalam peri kehidupan mereka“.
- Yurisprudensi adalah Keputusan hakim sebelumnya yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim berikutnya dalam mengambil keputusan.
- Doktrin adalah Pendapat sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim dalam mengambil keputusannya.
- UU Yayasan No.16 Tahun 2001, UU No.16 Tahun 2001 ini diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah mengenai yayasan dan menjadi dasar hukum yang kuat dalam mengatur yayasan di Indonesia. Namun dalam UU tersebut ternyata dalam perkembangannya belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap UU tersebut. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat.
UU No.28 Tahun 2004 merupakan penyempurna dari UU No.16 Tahun 2001, Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar pada masyarakat mengenai yayasan, sehingga dapat mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Selain hukum kebiasaan, Doktrin dan Yurisprudensi dan UU yayasan sebagai dasar hukum yayasan dalam hukum positif, masalah yayasan meskipun secara eksplisit tidak mencantumkan suatu rincian yang pasti sebagai dasar pijakan, namun pada prinsipnya terdapat beberapa ayat yang secara global memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik yang salah satu manifestasinya dapat berupa kebaikan. Dengan melihat bahwa salah satu aspek kemanfaatan sebagai salah satu dari amal jariyah yang pahalanya dapat mengalir terus menerus selama sisi kemanfaatannya itu tetap melekat, maka sesungguhnya terdapat beberapa ayat meskipun secara implisit dapat dijadikan dasar pijakan bagi pelaksanaan yayasan.
Sebagaimana Firman Allah SWT sebagai berikut :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya : “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl : 97)
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ
وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S.Al-Baqarah : 261)
Dengan ayat tersebut Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat kebajikan dalam rangka mencapai kebahagiaan dalam hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Secara implisit ayat tersebut mengisyaratkan bahwa perbuatan yang baik itu adalah sebagai suatu simbol dari ketundukan manusia dalam mengabdikan dirinya kepada Allah.