Metafora dapat diklasifikasikan dalam berbagai kelompok sesuai dengan banyaknya sudut pandang dan kriteria yang bisa digunakan sebagai landasan. Dalam paparan ini, yang diuraikan hanyalah klasifikasi yang banyak diacu oleh bidang sastra dan penerjemahan.
-
Klasifikasi Berdasarkan Unsur Fungsional Sintaksis
Ditinjau dari segi sintaksis, Wahab (1995: 72) membagi metafora ke dalam tiga kelompok, yaitu metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimatif. Metafora nominatif merupakan metafora yang makna kiasnya terdapat pada nomina kalimat, sedangkan komponen-komponen lain hanya menyatakan makna langsung. Karena nomina bisa berposisi sebagai subjek dan objek dalam kalimat, metafora ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu metafora subjektif dan metafora objektif.
Dalam metafora subjektif, yang juga disebut sebagai metafora nominatif, makna kias hanya muncul pada subjek saja. Sebagai contoh, dalam ungkapan “Badai derita tak henti melanda”, subjek “badai derita” mengaitkan ‘badai’ dengan sesuatu yang abstrak, yaiutu ‘derita’. Subjek ini merupakan metafora, sedangkan komponen lainnya, yaitu “tak henti melanda” mengungkapkan makna literal.
Dalam metafora objektif, yang juga disebut sebagai metafora komplementatif, makna kias hanya muncul pada objek saja. Dalam ungkapan “Wajahnya diselimuti mendung kelabu”, misalnya, kelompok kata “diselimuti mendung kelabu” berfungsi sebagai komplemen dan mengungkapkan makna kias, yang berarti “kemuraman atau kesedihan.”
Dalam metafora predikatif, makna kias hanya terdapat pada predikat kalimat saja, sedangkan subjek dan komponen lain dalam kalimat itu (jika ada) menyatakan makna literal. Sebagai contoh, dalam ungkapan “Sumpah serapah mengalir dari mulutnya”, kata “mengalir” merupakan predikasi yang cocok untuk air. Namun dalam konteks kalimat ini, kata itu merupakan metafora yang menekankan bahwa orang dimaksud tak henti-hentinya mengucapkan sumpah serapah.
Dalam metafora kalimatif, seluruh lambang kias yang dipakai tidak terbatas pada nomina (baik yang berlaku sebagai subjek maupun yang berlaku sebagai komplemen) dan predikat saja, melainkan pada seluruh komponen dalam kalimat metaforis itu, seperti dalam “Fajar kemerdekaan akan mengusir kelam derita.”
-
Klasifikasi Larson
Larson (1998: 274-275) membedakan metafora ke dalam dua kelompok: metafora mati (dead metaphor) dan metafora hidup (live metaphor). Metafora mati merupakan bagian dari konstruksi idiomatis dalam leksikon sebuah bahasa. Ketika sebuah metafora mati digunakan, pendengar atau pembaca tidak memikirkan makna literal kata-kata pembentuknya, tetapi langsung memikirkan makna idiomatik ungkapan tersebut secara langsung. Sebagai contoh, ketika mendengar metafora berbentuk idiom ‘kaki meja’, pendengar tidak perlu memikirkan makna kata “kaki” dan “meja” secara terpisah untuk memahami metafora tersebut.
Ungkapan ini sudah digunakan terus-menerus dalam bahasa Indonesia hingga penutur tidak perlu berpikir tentang perbandingan anatara kata “kaki” dan “meja”. Dalam bahasa Inggris, terdapat banyak idiom seperti “run into debt”, “foot of the stairs”, dan “the head of state”. Ungkapan-ungkapan ini merupakan metafora karena penutur bahasa Inggris dapat langsung memahami maknanya tanpa harus berpikir tentang perbandingan antara kata-kata penyusunnya.
Metafora mati disebut “mati” karena eksistensinya sebagai metafora hampir tidak disadari oleh penutur. Ungkapan yang termasuk dalam metafora mati cenderung tidak lagi dianggap sebagai metafora tetapi sebagai kata-kata sederhana dengan makna fungsional sederhana.
Kecenderungan ini merupakan salah satu pendorong berkembangnya bahasa. Penutur mencoba untuk menjelaskan sesuatu dengan membuat sebuah ungkapan yang memunculkan citra yang tidak lazim, dan akhirnya ungkapan itu menjadi standar sedangkan citra aslinya yang hilang atau berevolusi.
Metafora hidup adalah metafora yang dibentuk oleh penulis atau pembicara pada saat dia ingin menjelaskan sesuatu yang kurang dikenal dengan membandingkannya kepada sesuatu yang sudah dipahami. Berbeda dengan metafora mati yang sudah lama digunakan sehingga kesan metaforisnya tidak begitu menonjol, kesan metaforis metafora hidup terasa sangat kental setelah perbandingan antar dua hal dalam ungkapan tersebut dipahami dengan baik.
Metafora hidup sering digunakan untuk menarik minat pembaca atau pendengar, karena jika ungkapan yang didengar atau dibaca tidak sesuai dengan pola makna yang biasa, seorang pendengar atau pembaca akan dipaksa untuk berpikir keras tentang makna ungkapan tersebut, penggunaannya, dan tujuan pembicara atau penulis menggunakannya. Kata kata bercetak-miring dalam kalimat berikut adalah beberapa contoh metafora hidup.
- Banyak partai politik yang ada saat ini hanya berfungsi sebagai perahu pemimpinnya untuk memuaskan syahwat politik mereka menjadi presiden.
- Pemimpin sekarang perlu menjadikan korupsi musuh utama.
-
Klasifikasi Newmark
Newmark (1998: 106) mengklasifikasikan metafora ke dalam enam jenis: metafora mati (dead metaphor), metafora klise (cliché metaphor), metafora standar (standard or stock metaphor), metafora kontemporer (recent metaphor), metafora orisinal (original metaphor), dan metafora saduran (adapted metaphor). Masing-masing metafora tersebut diuraikan pada bagian berikut.
Metafora mati merupakan metafora yang eksistensinya sebagai metafora hampir tidak disadari oleh penutur. Metafora jenis ini biasanya menggunakan kata-kata yang universal mengenai ruang, waktu, ide, bagian-bagian tubuh, unsur-unsur ekologi, dan aktivitas-aktivitas utama manusia, seperti puncak, dasar, kaki, mulut, warna, dan sebagainya.
Beberapa contoh metafora mati adalah: “kaki gunung”, “mulut sungai”, dan “puncak karir”. Menurut Newmark, metafora mati banyak digunakan untuk memperjelas atau mendefinisikan konsep dan bahasa ilmiah, seperti “landasan teori” dan “dari lubuk hati yang terdalam”. Kutipan dari puisi Rendra (dalam McGlynn, 1990: 70) berikut adalah satu contoh lain metafora mati: “di perut kota New York.”
Metafora klise merupakan metafora yang digunakan oleh penutur secara otomatis. Karena sudah sering digunakan, kesan metaforisnya tidak begitu kental. Menurut Newmark, metafora ini biasa digunakan untuk menggantikan ungkapan (khususnya yang bersifat emosional) yang secara harfiah sudah jelas namun kaitannya dengan inti permasalahan tidak ada.
Newmark memberikan kalimat “The country school will in effect become not a backwater but a breakthrough” sebagai contoh metafora klise. Kata backwater secara harfiah mengacu pada “bagian sungai yang airnya mengalir perlahan-lahan”, namun dalam konteks kalimat di atas, kata ini mengacu pada sebuah “tempat yang tenang”. Kata breakthrough pada awalnya bermakna “sebuah dorongan penyerangan yang menembus dan melampaui garis pertahanan lawan dalam peperangan.” Tapi, dalam konteks kalimat di atas, kata ini bermakna “terobosan”.
Metafora standar merupakan metafora yang sudah mapan dan digunakan secara efektif dalam komunikasi informal untuk mengungkapkan situasi mental atau fisik. Newmark menambahkan bahwa metafora jenis ini memiliki kehangatan emosional dan tidak “mati” walaupun sering digunakan. Beberapa contoh metafora standar adalah: “muka tembok”, “Biarkan ketel itu tetap mendidih”, “secercah sinar harapan”.
Metafora kontemporer merupakan metafora berbentuk neologisme (ungkapan bentukan baru, atau kata lama yang dipakai dengan makna baru) namun penggunaannya sudah meluas bahkan di dalam bahasa-bahasa lain. Beberapa contoh metafora jenis ini adalah:
“walkman”, yang dibentuk dari kata lama “walk” dan “man” namun dalam pengertian baru mengacu pada “alat pemutar kaset yang bisa dibawa-bawa (portable casette player)”; “software”, dibentuk dari kata lama “soft” dan “ware” namun dalam pengertian baru mengacu pada perangkat pemrograman dalam komputer; dan “head-hunting”, yang mengacu pada “proses rekrutmen sumber daya manusia”.
Jika digunakan untuk mengungkapkan obyek atau proses yang masih baru, metafora kontemporer identik dengan metonimi (majas yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat, seperti pertalian antara penemu dengan temuannya, pemilik dengan barang yang dimiliki, akibat dengan sebab, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya).
Sebagai contoh, dalam ungkapan “Mingguan itu banyak memuat gosip”, kata “mingguan” yang pada awalnya berarti sesuatu yang terjadi seminggu sekali dihubungkan dengan surat kabar sehingga membentuk makna baru: “surat kabar yang terbit sekali seminggu.”
Metafora orisinal merupakan metafora yang mengandung inti pesan, kepribadian dan pandangan seorang penulis. Metafora orisinal biasanya merupakan metafora puitis yang diciptakan untuk mengungkapkan sesuatu yang spesifik pada sebuah peristiwa.
Sebagai contoh, kesan yang ditangkapnya setelah menyaksikan berbagai bantuan kemanusiaan bagi para korban tsunami di Asia awal tahun 2005, Presiden World Vision, Stearns menyatakan: “This tidal wave of generosity will help them rebuild…” Dalam ungkapan ini, “tidal wave” yang biasanya mengacu pada bencana alam digunakan untuk mengungkapkan kebaikan.
Kutipan dari puisiTaufik Ismail (dalam McGlynn, 1990: 70) berikut adalah contoh lain metafora orisinal: “Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropa, Meksiko, Habsyi dan Cina, …” Sebagai hasil kreativitas, metafora orisinal tidak berhubungan erat dengan konvensi-konvensi budaya dan linguistik. Oleh karena itu, faktor paling krusial dalam upaya memahaminya adalah konteks.
Metafora saduran, menurut Dickins (2005: 237), adalah metafora yang diadaptasi (dengan cara membuat perubahan) dari sebuah metafora kontemporer. Contoh yang diberikan Newmark (1998: 108) untuk metafora saduran adalah ungkapan “the ball is a little in their court”, yang diadaptasi dari idiom metaforis kontemporer “the ball is in their court”.
Klasifikasi Wahab, yang membedakan metafora ke dalam metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimatif, di atas menegaskan bahwa unsur ungkapan yang membentuk metafora bisa berbentuk sebuah kata, frasa, klausa maupun kalimat. Sebuah metafora bisa berwujud subjek, objek, prediket, atau mencakup seluruh komponen sebuah kalimat. Klasifikasi Larson dilandaskan pada sadar atau tidaknya penutur akan eksistensi ungkapan metaforis tersebut sebagai metafora.
Kriteria ini diikuti oleh Newmark ketika membedakan metafora mati dan metafora kontemporer. Akan tetapi, selain kriteria tersebut, Newmark juga menggunakan kriteria rentang waktu penggunaan ketika membedakan metafora klise dan metafora kontemporer dan kriteria keberadaan dan ketiadaan kreativitas penulis atau pembicara ketika membedakan metafora orisinal dan metafora saduran.
Dengan demikian, meskipun klasifikasi Newmark terkesan lebih terperinci, hal itu didasarkan pada kriteria yang multidimensional sehingga kriteria-kriteria yang membedakan ke enam jenis metafora tersebut tidak begitu tegas. Bahkan, Newmark sendiri mengakui kriteria metafora klise tumpang tindih dengan metafora standar (1998: 108).
Demikian Penjelasan Materi Tentang
Semoga Materinya Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi